Jumat, 18 Juni 2010

Cukuplah Allah Saja yang Menilai

Tulisan dibawah ini mewakili kedalaman hati ana thd kalian.


Saudaraku yang kucintai,
Ingin sekali rasanya kebersamaan ini tak pernah berakhir.
Ingin sekali rasanya iringan langkah kita tak pernah
putus. Terus bersama dan beriring. Kita bahkan , selalu
berharap agar Allah berkenan memasukkan kita ke dalam
surga-Nya, bersama pula. Saudaraku, begitulah ungkapan
yang muncul kala kita menjalin pertemanan, persahabatan,
persaudaraan karena Allah Swt. Kita telah mengawalinya
dengan keimanan, dan keimanan itu harusnya tetap
memelihara kita sampai kehidupan abadi di akhirat.

Saudaraku,
Semoga kita termasuk orang yang sungguh-sungguh bekerja
untuk akhirat. Mungkin kita sudah terlalu hafal dengan
perkataan bahwa kehidupan ini merupakan ladang bagi
akhirat. Sudah terlalu sering kita mendengar bahwa hidup
ini tak lain merupakan tempat ujian. Tempat menanam,
menyemai, tempat bekerja, dan berjuang. Ia hanya
persinggahan, sama sekali bukan akhir dari perjalanan.
Atau dalam ungkapan Dr. Abdullah Azzam, tokoh legendaris
jihad yang mati syahid di bumi Afghanistan : “Hidup
ini adalah jihad. Dan umat ini tidak akan hidup kecuali
dengan jihad.”

Saudaraku, jangan putuskan bait-bait doa kepada Allah agar
tetap mengikat hati kita.
Sepanjang kebersamaan ini, mungkin sudah banyak amal yang
kita lakukan. Di antara kita banyak yang sudah mengalami
letih, lelah, meneteskan peluh dan bahkan terluka, untuk
sebuah kebaikan. Di antara kita juga, tak sedikit yang
berlinang air mata untuk sebuah keyakinan. Mungkin kita
merasa, telah mengukir dan menghiasi amal kita
sebaik-baiknya untuk Allah swt. Ikhlas, bersih, tak ada
tendensi. Tapi saudaraku, hati-hatilah. “Berapa
banyak lentera yang mati tertiup angin. Berapa banyak amal
ibadah yang dirusak pelakunya sendiri...” begitulah
nasihat Muhammad Ahmad Rasyid dalam Al Awa-iq.
Perhatikan perlahan-lahan, apa yang diungkapkan Fudhail
bin Iyadh, tokoh salafushalih zaman Tabi’in, kepada
mereka yang telah beribadah dan beramal shalih.
“Iblis akan unggul atas manusia bila berhasil
memunculkan salah satu dari tiga sifat yaitu: Kekaguman (ujub)
kepada diri sendiri, melebih-lebihkan amal sendiri, dan
kelupaan atas dosa-dosa yang dilakukan.”

Itulah tiga panah syetan untuk orang-orang yang beramal.
Semuanya berawal dari rasa ujub, bangga atau kagum pada
diri sendiri. Renungkanlah, saudaraku...
Kita bisa saja mengatakan, “saya tidak ujub dengan
amal-amal yang saya lakukan, saya tidak melebihkan amal
yang saya lakukan, saya selalu berusaha mengingat-ingat
dosa-dosa saya...” Tapi begitupun, jangan lengah.
Karena semua itu belum menandakan jika kita selamat dari
perangkap ujub yang lain. Para salafushalih yang mengerti
tentang tabiat dan kecenderungan hati, tidak menghentikan
pembahasan ujub sampai disini, ada banyak anak panah
syetan yang harus diwaspadai.
Dalam sekali makna yang terkandung dari nasihat Sofyan
Tsauri rahimahullah yang mengingatkan kita tentang hal
ini. Ia mengatakan “Kalau engkau tidak ujub dengan
dirimu, engkau mungkin saja senang dengan orang yang
memujimu dan mungkin juga senang bila dengan pujian itu
orang-orang memuliakanmu dengan amalmu. Mereka melihat
dirimu mulia dan engkau memiliki tempat tersendiri di hati
mereka...

Saudaraku,
Senang dengan pujian. Itulah yang dimaksud dengan nasihat
Sofyan Tsauri. Inilah anak panah syetan berikutnya yang
bisa merusak amal kita. Dan sedihnya, jarang orang yang
bisa selamat dari bidikan syetan ini. Karena itu, Fudhail
bin Iyadh memiliki pandangan tajam untuk menimbang dan
menyikapi masalah ini. Ia mengatakan, “Sesungguhnya
termasuk tanda-tanda kemunafikan adalah jika seseorang
menyukai pujian yang tidak ada pada dirinya. Kemudian ia
membenci orang yang tidak menyukai dirinya karena sesuatu
yang memang ada pada dirinya. Sementara, ia juga membenci
orang-orang yang mengetahui aib-aibnya...”
Fudhail bin Iyadh sendiri, sangat berhati-hati soal
pujian. Sampai-sampai diriwayatkan, andai Fudhail
mendengar ada orang yang memujinya, kondisinya segera
berubah menjadi aneh, nafasnya tersengal dan lisannya
mengeluarkan kalimat-kalimat yang mencaci dirinya...

Saudaraku,
Panah ujub tak menancap hanya sampai disini. Mungkin saja
seseorang tidak ujub pada dirinya, dan tidak suka dengan
pujian, tapi ada celah lain yang bisa menjerumuskannya
dalam penyakit ujub. Apa itu? “Siapa yang mencaci
dirinya sendiri di hadapan orang lain, sesungguhnya dia
itu alamat riya,” Begitu kata Hasan Al Bashri. Itu
juga termasuk bagian dari ujub, yang kerap tidak disadari
oleh pelakunya. Berniat untuk merendahkan diri, tapi yang
terjadi syetan justru membalik keadaannya menjadi ujub.
Ada panah ujub yang lainnya, yakni jika kita cenderung
senang bila mendapatkan orang lain melakukan kesalahan.
Seperti diingatkan oleh Fudhail, “Di antara alamat
munafik adalah bila seseorang senang mendengar kesalahan
dan kekeliruan yang dilakukan orang lain.” Ini yang
paling aneh dan paling sulit terdeteksi.

Saudaraku, renungkanlah
Sesungguhnya Allah sudah terlalu banyak menutupi
kekeliruan, keterpelesetan, kesalahan dan aib kita. Itu
nikmat Allah yang harus kita syukuri. Dari sanalah kita
bisa mengendalikan rasa kagum pada diri sendiri, mampu
menyikapi pujian, tidak senang mendengar kekurangan orang
lain dan semacamnya. Jangan sampai kita termasuk
orang-orang yang disindir Khalid bin Shafwan,”Ada
orang yang tertipu karena Allah menutupi aib-aibnya dari
orang lain. Ada juga orang yang tertipu oleh baiknya
pujian.” Khalid menambahkan, “Jangan engkau
terkalahkan oleh ketidaktahuan orang lain terhadap dirimu
yang kemudian memujimu, sementara engkau sangat mengetahui
kondisimu sendiri.” (Ahmad Rasyid, Al Wa-iq, 52)

Saudaraku,
Cukuplah hanya Allah yang mengetahui dan mengenal
perbuatan baik yang kita lakukan. Seseorang bisa saja,
mendapat nilai seratus dari manusia, namun sesungguhnya ia
tak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah. Sebaliknya,
seseorang bisa saja mendapat nilai seratus di sisi Allah,
namun ia seperti tak memiliki nilai apapun di hadapan
manusia.
Simaklah sebuah kisah dari seoarng tabi’in yang
hidup di zaman Umar,
Ibnu Auf Ahmasi.”Ketika saya
berada di hadapan Umar Bin Khattab, datanglah seorang
utusan dari Nu’man bin Maqran, salah seorang
komandan perang Nahawand. Ia melaporkan nama-nama kaum
muslimin yang gugur di medan perang Nahawand. Ia
menyebutkan nama mereka satu per
satu...fulan...fulan...fulan dan seterusnya. Kemudian
utusan itu mengatakan , “Selain itu, kami tidak
mengenal nama-nama mereka...”
Saat itu Umar segera mengatakan,”Akan tetapi Allah
pasti mengenal mereka”. Dalam lafadz yang lain
disebutkan perkataan Umar, “Akan tetapi Yang
Memuliakan mereka dengan syahadah, pasti mengenali wajah
dan keturunan mereka.” (Al Kharaj, Abi yusuf, 35)

Camkanlah, saudaraku, cukup hanya Allah yang paling berhak
menilai dan menghitung amal kita...

Sumber : Tarbawi Press “Berjuang di Dunia, Berharap Pertemuan di Surga”
http://www.facebook.com/ukhti.amane#!/notes/abu-mushab/cukuplah-allah-saja-yang-menilai/438271505855

Tidak ada komentar:

Posting Komentar